Ilmu amat tinggi kedudukannya di dalam Islam. Demikian pula mereka yang mengajarkan dan menyebarkan ilmu
Setiap
akhir masa pengajian, atau satu peringkat tarbiyah, lahir dari rahim
pendidikan, orang-orang berilmu ke dunia; samada peringkat rendah atau
peringkat tinggi, termasuklah para sarjana dan golongan professional.
Namun berapa banyakkah dari mereka dikira murid yang menghormati
guru-guru mereka?.
Di zaman kini, Tak sedikit orang pandai, namun
banyak yang lupa, seolah-olah kepandaian dan kekayaan ilmunya menjadi
dengan sendirinya tanpa sentuhan dan doa para guru-guru mereka yang
mengajarkan secara ikhlas.
Islam sangat menganjurkan agar umatnya menghormati para ulama dan guru-guru mereka.
Dalam
kitab Ta'lim Muta'allim dijelaskan bagaimana cara menghormati guru, di
antaranya; tidak boleh berjalan di depan gurunya, tidak duduk di tempat
yang diduduki gurunya, bila dihadapan gurunya tidak memulai pembicaraan
kecuali atas izinnya. Murid mestilah mendapatkan ridha dari gurunya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (SAW) bersabda: “Pelajarilah ilmu, pelajarilah ilmu dengan ketenangan dan sikap hormat serta tawadhu’lah kepada orang yang mengajarimu.”
Ilmu
tidak akan dapat diperoleh secara sempurna kecuali dengan diiringi
sifat tawadhu’ murid terhadap gurunya, karena keridhaan guru terhadap
murid akan membantu proses penyerapan ilmu, tawadhu’ murid terhadap guru
merupakan cermin ketinggian sifat mulia si murid.
Sikap tunduk
murid kepada guru justru merupakan kemuliaan dan kehormatan baginya.
Perilaku para sahabat, yang memperoleh tarbiyah langsung dari Rasulullah
SAW patut dijadikan contoh.
Ibnu Abbas, sahabat mulia yang amat
dekat dengan Rasulullah mempersilahkan Zain Bin Tsabit, untuk naik di
atas kendaraannya, sedangkan ia sendiri yang menuntunnya.
“Beginilah
kami diperintahkan untuk memperlakukan ulama kami”, ucap Ibnu Abbas.
Zaid Bin Tsabit sendiri mencium tangan Ibnu Abbas. “Beginilah kami
diperintahkan untuk memperlakukan ahli bait Rasulullah,” balas Zaid.
Orang-orang
terdahulu sangat hormat terhadap ulama mereka. Terhadap Said bin
Musayyab, faqih tabi’in, orang-orang tidak akan bertanya sesuatu
kepadanya kecuali meminta izin terlebih dahulu, seperti layaknya
seseorang yang sedang berhadapan dengan khalifah.
Sifat ini juga
diikuti oleh para ulama. Imam Abu Hanifah sebagai contoh sangat
menghormati gurunya. Beliau pernah berkata: “Aku tidak pernah shalat
setelah guruku, Hammad, wafat, kecuali aku memintakan ampun untuknya dan
untuk orang tuaku”.
Perbuatan ini diikuti juga oleh Abu Yusuf.
Murid Abu Hanifah, ia selalu mendoakan Abu Hanifah sebelum mendoakan
kedua orang tuanya sendiri.
Pengormatan Imam As Syaf’i kepada
guru beliau Imam Malik, juga merupakan pelajaran. Imam Syafi’I pernah
berkata: “Di hadapan Malik aku membuka lembaran-lembaran dengan sangat
hati-hati, agar jatuhnya lembaran kertas itu tidak terdengar”. Rabi’,
murid Imam As Syafi’i juga tidak ingin gurunya itu melihatnya ketika
sedang minum,
Abdullah, putra dari Imam Ahmad bertanya kepada
ayahnya. “Syafi’i itu seperti apa orangnya, hingga aku melihat ayah
banyak mendoakannya?”. “Wahai anakku, Syafi’i seperti matahai bagi
dunia..”, jawab Ahmad bin Hanbal. Sebagaimana disebutkan beberapa
riwayat, bahwa selama tiga puluh tahun Imam Ahmad mendoakan dan
memintakan ampunan untuk guru beliau Imam As Syafi’i.
Dengan guru
beliau yang lain pun demikian. Imam Ahmad pernah berguru juga kepada
Husyaim bin Bashir Al Wasithi selama lima tahun. ”Aku tidak pernah
bertanya kepadanya, kecuali dua masalah saja karena rasa hormat.”
Sikap
hormat dan tawadhu’mereka kapada para guru amat tinggi, bahkan dalam
berdoa sendiri mereka mendahulukan para guru, baru kemudian orang tua.
Kenapa dimikian?
Imam Al Ghazali menjelaskannya dalam Al Ikhya’
(1/55). ”Hak para guru lebih besar daripada hak orang tua. Orang tua
merupakan sebab kehadiran manusia di dunia fana, sedangkan guru
bermanfaat bagi manusia untuk mengarungi kehidupan kekal. Kalaulah bukan
karena jeri payah guru, maka usaha orang tua akan sia-sia dan tidak
bermanfaat. Karena para guru yang memberikan manusia bekal menuju
kehidupan akhirat yang kekal”.
Ketika ini, adab yang dicontohkan
oleh para ulama tadi hampir pupus karena terkikis oleh kebodohan,
sehingga tidaklah heran jika ada pencari Ilmu yang mencela gurunya
sendiri, dikarenakan berbeda pendapat dalam masalah furu’. Sejauh apapun
perbedaan kita, guru tetaplah guru. Nah, mudah-mudahan kita tidak
termasuk dari golongan yang seperti ini.
Sumber, http://www.hidayatullah.com
Selasa, 14 Februari 2012
ADAB MENGHORMATI GURU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 comments:
Posting Komentar